Tafsir Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Musyawarah

Oleh: Hidayati Fauziyah

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam menafsiri berbagai syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan syari’at tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa memperhatikan adanya bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial yang baik dalam masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang baik tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat baik sesama muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep musyawarah.

Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat  memilki hak yang sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.

Dalam tulisan ini akan membahas pentingnya konsep musyawarah yang sangat di tekankan dalam al-Qur’an bahwa konsep Musyawarah tersebut merupakan tradisi umat muslim pada masa nabi yang harus terus dilestarikan dalam tatanan kehidupan sekaligus merupakan perintah Allah yang disampaikan kepada nabi sebagai salah satu landasan syari’ah yang harus tetap ditegakan. terutama dalam kehidpan moderen saat ini.

Pembahasan

A. Pengertian Musayawarah

Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah    شور  yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain. [1]  Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain). jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat  yang baik, di sertai dengan menaggapi dengan baik pula  pendapat tersebut.

Pengertian ini terdapat pada tiga tempat dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, dalam surat Asy-Syura (26) ayat 38,  ayat ini mengandung pujian atas orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dengan baik, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rizki yang mereka proleh. Bermusyawarah merupkan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah. ketiga yaitu surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat ini merupkan perintah bagi nabi SAW, untuk melaksanakan musyawarah, bermusayawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.[2]

B. Ayat-ayat Musyawarah

  1. Surat al-Baqoroh ayat 233

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾

 

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

1.1. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 233

Ayat ini mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal ini berdasarkan kebolehan dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau keyakinan. At-Tasyaawur (musyawarah) adalah mengeluarkan (mencari) pendapat yang terbaik.

Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah dan al-masyuurah, seperti al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan istakhrajtuhu artinya mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan syawwartuhaa: ajraituhaa, artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar  artinya perabot rumah.

Digunakan kata ini  karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarah artinya penampilan seseorang. Al-isyaarah  artinya mengeluarkan apa yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam ayat ini bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan damai; pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat tasyawurin, artinya bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka,  memulai musyawarah bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami dan perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.[3]

  1. Surat Ali-’Imraan ayat 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

2.1. Tafsir Mufrodat

غِلْظُ القَلْب            : (keras hati) adalah ungkapan untuk muka yang selalu masam, tidak peka terhadap segala keinginan dan kurang memiliki rasa kasih sayang

الفَظُّ                   : artinya keras dan kasar

لآنْفَضُّوا              : memisahkan diri

2.2. Asbabul Nuzul Surat Ali-‘Imraan Ayat 159

Ayat ini memiliki hubungan yang erat terhadap peristiwa Perang Uhud. Pada peristiwa tersebut kaum muslim mengalami kekalahan telak akibat hilangnya disiplin sebagian tentara Islam terhadap perintah yang telah di tetapkan nabi. bahkan dalam satu riwayat pada waktu itu Nabi terluka sangat parah dan giginya rontok. Ayat ini serta beberapa ayat berikunya merupakan penjelasan tentang sikap dan sifat nabi sebagai leader yang mesti diambil ketika menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan instruksinya sekaligus sebagai sugesti dari Allah agar selalu optimis dalam perjuangan.

jadi ayat ini merupakan ayat leadership dan musyawarah di tengah-tengah keadaan yang sangat darurat dalam peperangan, nabi tetap mengedepankan hasil keputusan musyawarah bersama para sahabat tentang bagaimana mensiasati taktik perang di gunung Uhud. Dari hasil musyawarah tersebut nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun hasilnya sangat mengecewakan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslim, saat itulah Rasulullah memutuskan untuk menghapuskan adanya konsep musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meskipun terbukti terkadang hasil keputusan tersebut keliru.[4]

2.3. Tafsir dan Penjelasan  Surat Ali-‘Imraan ayat 159

Pertama: Para ulama berkata: “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya Allah memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah meninggalkan perintah  beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.

Kedua, Ibnu ‘Athiyah berkata, “ Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hukum-hukum. Barang siapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajb diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firmannya, وأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”.

Ketiga, firman Allah,” Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara menentukan perkiraan bersama didasari dengan wahyu. Sebab, Allah mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Keempat, tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, المُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya. Kelima, kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman, dan santun kepaa orang yang mengajak bermusyawarah.

Keenam, Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan Sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah telah menunjukkan kepada sesuatu yang dikehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.

Ketujuh, Allah berfirman, faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah, berarti bahwa kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Qatadah berkata, “ Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT.[5]

  1. Surat an-Nisa ayat 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

3.1. Asbabul Nuzul Surat an-Nisa ayat 59

Diriwayatkan oleh Bukhari dengan ringkas dan lain-lain, yang bersumber dari ‘Ibnu ‘Abbas, akan tetapi menurut Imam ad-Dawudi, riwayat tersebut menyalah gunakan nama Ibnu ‘Abbas.  Dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (Q.S 4 an-Nisa:59) berkenaan dengan Abdullah bin Hudzaifah bin Qais ketika diutus oleh Nabi SAW, memimpin suatu pasukan.

Di saat ‘Abdullah marah-marah kepada pasukannya, ia menyalakan api unggun, lalu memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian menolak dan sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa ‘Abdullah, mengapa ayat ini dikhususkan untuk menaati ‘Abdullah bin Hudzaifah saja, sedangkan pada waktu lainnya tidak, dan sekiranya ayat ini turun sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah didalam hal yang makruf (kebaikan). Jadi tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa mereka tidak taat.

3.2. Tafsir Surat an-Nisa ayat 59

Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peraturan. Peraturan Yang maha Tinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang wajib ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus Rasul-rasul, dan penutup segala rasul ialah Nabi Muhammad SAW. Rasul-rasul membawa undang-undang Tuhan yang termaktub di dalam Kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an.

Maka isi Kitab suci itu semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Ummat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah, sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena segan kepada manusia, dan bukan pula karena semata-mata mengharap keuntungan duniawi. Dan jika dia meninggalkan berbuat suatu pekerjaan yang tercela, bukan pula karena takut kepada ancaman manusia.

Kemudian orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Tuhan. Banyak perintah Tuhan yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul. Dan dengan taat kepada rasul barulah sempurna beragama. Sebab banyak juga orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi dia tidak beragama. Sebab dia tidak percaya kepada Rasul. Kemudian diikuti oleh taat kepada Ulil-Amri-minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu, kedua dari pada kamu. Maksudnya, yaitu mereka yang berkuasa itu adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya, sebagai satu kenyataan.[6]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa maksud munasabah ayat ini disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini karena dalam kisah tersebut disebutkan adanya batasan antara taat kepada perintah pimpinannya dan menolak perintah untuk terjun ke dalam api, pada saat itu mereka memerlukan petunjuk berkenaan dengan apa yang harus mereka lakukan. Ayat ini (Q.S 4:59) turun memberikan petunjuk kepada mereka, apabila berbantahan hendaklah kembali kepada Allah dan Rasulnya.[7]

  1. Asy-Syura ayat 38

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣٨﴾

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.

4.1. Mufrodat Ayat

اسْتَجَابُوا             : Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh sedikit keraguan atau kebencian.

لِرَبِّهِمْ                  : Benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka.

أَمْرُهُمْ                 : Amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan urusan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka.

شُورَى    : Mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.[8]

4.2. Tafsir Surat as-Syura ayat 38

Ayat di atas menyatakan: Dan kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka melaksanakan shalat secara bersinambung dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu’ kepada Allah, dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat mereka adalah musyawarah antara mereka yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya; dan disamping itu mereka juga dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka baik harta maupun selainnya, mereka senantiasa nafkahkan secara tulus serta bersinambung baik nafkah wajib maupun sunnah.[9]

C. Penjelasan Tafsir Ayat

Ayat-ayat di atas adalah ayat menjelaskan tentang musyawarah yang saling memiliki korelasi, bahwasanya al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan, baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus diselesaikan dengan jalan musyawarah. Seperti dalam ayat tentang menyapih anak. Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri, ayat yang senada dengan ayat tersebut ialah Q.S at-Thalaq 65:6 وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ  meskipun dengan kata وَأْتَمِرُوا (berembuklah) yang melahirkan kata “Muktamar”.[10]

Sedangkan dalam hal kepemimpinana surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat yang diperuntukan bagi nabi SAW yang selain sebagai penyampai risalah,  Rasulullah juga memiliki peran legitimasi politik sebagai seorang imam untuk melaksanakan musyawarah, ayat ini juga sekaligus perintah yang mensyari’atkan musyawarah. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT memerintahkan nabi SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.

Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat moderen yang ditandai dengan munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek musyawarah, para pemimpinnya di bebani kewajiban melakasanakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.[11]

Al-Qurtubi (W. 9 Syawal 671) seorang mufassir yang menukil dari Ibnu Atiah, menulis: “Musyawarah adalah salah satu kaidah syara dan ketentuan hukum yang harus ditegakan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka ia harus dipecat.

Mengenai objek musyawarah ini at-Tabari, Fahruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi berpendapat bahwa yang dimusyawarahkan ialah mengenai segala macam permasalahan baik itu berkenaan dengan masalah keagamaan dan permasalahan dunia. Sebab untuk saat ini banyak timbul masalah sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, keluarga dan sebagainya yang pemecahannya membutuhkan jawaban dari agama. Dengan ayat tersebut islam menjadikan Syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah sosial, politik, dan pemerintahan. Syura merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan yang bersifat mengikat. baik dalam bentuk hukum dan kebijakan politik.[12]

Selanjutnya Ayat tersebut masih memilki korelasi hubungan dengan surat an-Nisa ayat 59 yang menjelaskan kewajiban menaati perintah ulil ‘amri, termasuk penguasa dibidang politik, pemerintahan dan negara.  Tetapi di sisi lain Ayat ini juga menjelaskan batasan ketaatan terhadap ‘ulil amri bahwasanya Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntunan Allah dan Rasulnya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pimpinan tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasulnya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali kepada jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja tidak untuk dipatuhi. Selain itu ayat ini juga menegaskan bahwa jika terjadi perselisihaan dalam suatu persoalan antara pimpinan dan bawahan maka wajib mengembalikan persoalan tersebut kepada al-Qur’an dan Hadist.

Masalah politik ini selanjutnya juga berhubungan dengan bentuk pemerintahan. Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, melainkan suatu pemerintahan yang mengatur tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (kehendak bersama). Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat. Oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut.[13]

Dalam ayat lainnya yaitu dalam surat Asyuura (42):38, yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim Madinah yang bersedia membela Nabi sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa musyawarah telah menjadi tradisi masyarakat muslim pada waktu itu dalam memutuskan segala perkara mereka.[14]  menurut Nurcholis Majid, deskripsi mengenai masyarakat orang-orang beriman, sebagai masyarakat musyawarah sedemikian mengesankannya bagi orang-orang muslim pertama,sehingga surat dalam Al-Quran yang memuat deskripsi itu disebut “Surah Syura” atau Musyawarah.[15]

D. Kontekstualisasi Ayat

Mengacunya Konsep musyawarah sebagai tradisi yang disyari’atkan di dalam al-Qur’an, salah satunya  dalam hal kebijakan pemerintahan dan politik, dalam surat ‘Ali-‘Imraan ayat 159, bahwa Allah SWT memerintahkan kepada Nabi untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya dalam memecahkan berbagai persoalan. Perintah tersebut tidak hanya dikhususkan kepada nabi Muhammad tetapi kepada seluruh umatnya   yang menjalankan suatu pemerintahan atau politik dalam suatu negara bahwa landasan dasar  pemerintahan Islam yang ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus adanya konsep musyawarah di dalamnya.

Dalam sejarah kita mengenal berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, oleh karenanya setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya sesuai dengan kesepakatan bersama pemerintahan dan seluruh warga yang menghuni suatu negara tersebut.[16] Hal ini sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah yang di kalangan para sarjana politik (Islam) dikenal sebagai “Konstitusi Madinah” Piagam Madinah ini, telah didokumentasikan para ahli sejarah klasik Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (w. 218 H).

Konstitusi ini merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan kaum Muslim dan Nonmuslim Madinah, di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, untuk membangun masyarakat politik bersama. Dalam model pemerintah tersebutlah Rasulullah meletakan salah satu dasar pemerintahan  dalam Islam yaitu musyawarah. Menurut Nurcholis Majid dalam Ensiklopedi Nurcholis Majid, bunyi naskah ini sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan, sebabnya dalam konstitusi itu, untuk pertama kali dirumuskan gagasan-gagasan yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia yang terkonsep dalam sistem pemerintahan yakni demokrasi, yang di dalamnya memuat  aturan-aturan  adanya kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan, hubungan ekonomi antar-golongan, dan lain-lain. Ditegaskan juga adanya suatu kewajiban umum seluruh masyarakat Madinah, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.

Sistem Demokrasi yaitu kecenderungan pemerintahan  ke arah sistem politik yang lebih terbuka. bahwa warga negara atau rakyat harus didengar suaranya dalam proses-proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka, bahwa rakyat punya hak untuk tidak diperlakukan secara tidak adil, bahwa pemerintah harus merespons hajat rakyatnya.

Sistem Demokrasi memiliki tempat sebagai sistem pemerintahan yang diterima dengan baik di Indonesia karena dalam konsep Demokrasi tersebut terdapat nilai-nilai yang di ambil dari konstitusi Piagam Madinah yang dibawa oleh Nurcholis Majid sebagai bentuk penyesuaian dengan negara Indonesia yang memilki identitas sebagai negara majemuk, di mana sebuah perbedaan adalah sebuah identitas murni yang di miliki negara Indonesia.  Yakni adanya perbedaan keyakinan, kebudayaan, dan perbedaan strata sosial yang menuntut adanya kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Iklim kemajemukan tersebut tidak jauh berbeda dengan kota madinah yang terdiri dari berbagai etnis tetapi dapat hidup berdampingan di bawah konstitusi Piagam Madinah. Dengan Adanya sistem Demokrasi tersebut landasan membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan syari’at Islam yakni adanya aktivitas Syura (Musyawarah) dalam pemerintahan tersebut dapat terwujud  Sehingga pemerintahan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejateraan, keamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat.

Kesimpulan

  • Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah    شور  yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.
  • Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain).
  • Al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan, baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus diselesaikan dengan jalan musyawarah
  • Bahwasanya syura (musyawarah) merupakan  salah satu syari’at Khitobullah yang di perintahkan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya.
  •  Bahwa landasan dasar  pemerintahan Islam yang ideal dalam suatu pemerintahan ialah harus adanya konsep musyawarah di dalamnya.

Daftar Pustaka

1)      Amrullah, Abdul Malik Abdulkarim, Tafsir Al-Azhar Juz 1, (Singapura: Kerjaya print Pte Ltd, 2007)

2)      Abdul Ghofur, Waryono, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks,(Yogyakarta:Elsaqpress, 2005)

3)      Armando, Nina M. dkk, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005)

4)      al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)

5)      Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholis Majid, (Jakarta :Yayasan Abad Demokrasi, 2011)

6)      Nata, Abuddi, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2009)

7)      shihab,Quraish, Al-Misbah jld 12

8)      Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid.2,


                [1] Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks,(Yogyakarta:Elsaqpress, 2005)hal. 154

                [2] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal. 329-330

[3]Haji Abdul Malik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Juz 1, (Singapura: Kerjaya print Pte Ltd, 2007), hal. 562-563.

[4] Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks… hal.154, 156

                [5] Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 622-628.

                [6]   Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid.2, hal. 1276-1277

                [7] K.H.Q. Shaleh, H.A.A Dahlan dkk, Asbabul Nuzul, Latar Belakng Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an Edisi ke-2, (Bandung:CV Penerbit Diponogoro, 2002), hal. 146

                [8] Quraish shihab, Al-Misbah jld 12, hal. 511-512

                [9] Quraish shihab, Al-Misbah jilid 12, hal.. 511-513

                [10] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,(Yogyakarta:El-Saq Press, 2005) hal. 155

                [11] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal. 329-330

                [12] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam,…hal.330

                [13] Prof. Dr. H. Abuddi Nata, M.A, Metodologi Study Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2009) hal. 92

                [14] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialohkan Teks dan Konteks,…hal. 155

                [15] Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Majid, (Jakarta :Yayasan Abad Demokrasi, 2011) hal.209

                [16] Prof. Dr. H. Abuddi Nata, M.A, Metodologi Study Islam,..hal. 92

Tinggalkan komentar